RAGAM INFORMASI

TENTANG DUNIA PERSAPIAN

TRANSLATE

Lebaran Sapi, Tradisi Peternak Sapi Di Boyolali Jawa Tengah

Siapa yang tidak bahagia saat lebaran tiba? Banyak orang merayakannya dengan melakukan tradisi mudik lebaran, silaturahmi, dan menyantap ketupat bersama keluarga. Namun, apakah perayaan itu juga berlaku untuk lebaran sapi? Simak ulasan berikut ini untuk mengetahui sejarah, tata cara, peralatan, hingga filosofinya di kalangan peternak sapi di Jawa Tengah.

LEBARAN SAPI

Lebaran, sejatinya adalah sebutan lain untuk hari raya umat Islam. Euforia masyarakat Indonesia dalam merayakan hari kemenangan ini terbilang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya beragam tradisi unik usai lebaran Idulfitri. Contohnya, grebeg syawal di Keraton Yogyakarta dan kenduri di Jawa Tengah.

Pelaksanaan tradisi berlangsung dalam rentang waktu tujuh hari setelah Idulfitri. Awalnya, budaya tersebut dilestarikan di wilayah Jawa. Lambat laun, tradisi juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia dari luar Pulau Jawa. Semisal di Sulawesi Utara, ada binarundak yang dirayakan dengan menyantap nasi jaha.

Nah, di daerah Boyolali, Jawa Tengah, ada lebaran yang tidak kalah unik. Orang menyebutnya lebaran sapi atau bakdan sapi. Menurut masyarakat Boyolali, lebaran sapi sudah ada sejak zaman dahulu. Beberapa sumber mengungkapkan, perayaan tersebut berlangsung meriah mulai tahun 1931.

Dulu, bakdan sapi hampir dilaksanakan di seluruh dusun kawasan Boyolali. Sayangnya, kini tradisi itu mulai meluntur seiring perkembangan teknologi. Hanya ada satu yang masih mempertahankan budaya bakdan sapi, yakni Desa Sruni, Musuk, Boyolali, Jawa Tengah.

 

 

a. Tradisi Masyarakat Salah Satu Desa Di Boyolali, Jawa Tengah

Seperti penjelasan di subjudul sebelumnya, Desa Sruni merupakan kawasan di Boyolali yang paling eksis melestarikan tradisi lebaran sapi. Bahkan, mereka kerap membawa hewan ternak selain sapi untuk merayakan adat tersebut.

Bagaimana kondisi Desa Sruni sebenarnya? Seperti tradisi, kearifan lokal, dan karakteristik masyarakatnya? Berikut ini pembahasan selengkapnya.

 

 

b. Tentang Desa Sruni, Musuk, Boyolali, Jawa Tengah

Terletak di lereng Gunung Merapi, Desa Sruni diselimuti hawa sejuk dan kontur alam yang subur. Kawasan ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali. Jarak Desa Sruni dengan pusat ibu kota Kabupaten cukup jauh, tetapi tidak menyurutkan semangat masyarakatnya untuk mandiri secara ekonomi.

Beberapa wilayah yang menjadi batas Desa Sruni, yaitu Desa Ringinlarik, Cluntang, Karang Kendal, Sukorejo, Lanjaran, serta Mriyan. Posisi Desa Sruni tergolong lebih tinggi daripada kawasan lain di sekitarnya. Ketinggian desa ini mencapai 750 meter di atas permukaan laut.

Sebagian wilayah Desa Sruni digunakan untuk lahan pertanian. Sisanya, dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi non pertanian dan tempat mendirikan fasilitas umum, seperti puskesmas dan kantor desa.

Melihat karakteristik lingkungan Desa Sruni yang terletak di dataran tinggi dengan jenis tanah aluvial, kawasan ini cocok untuk pengembangan pertanian dan peternakan. Karena itu, sebagian besar masyarakat Desa Sruni memiliki usaha ternak sapi perah dan ruminansia lainnya, semisal kambing dan sapi potong. Bisa dikatakan, peternakan adalah sumber mata pencaharian utama di Desa Sruni.

 

 

c. Karateristik Masyarakat Desa Sruni, Musuk, Boyolali, Jawa Tengah

Warga Desa Sruni memiliki ciri-ciri umum yang kerap melekat pada masyarakat pedesaan. Ciri-ciri tersebut terlihat dari kehidupan sehari-hari mereka. Salah satunya adalah sederhana. Sebagian warga Desa Sruni mempertahankan kehidupan apa adanya dan tidak suka menyombongkan diri. Meski begitu, mereka mau menerima perkembangan teknologi.

Sebagai contoh, tahun 2016 lalu, masyarakat Desa Sruni pernah mendapatkan juara I dalam Lomba Desa Mandiri Energi tingkat provinsi. Gelar itu bisa didapatkan warga Desa Sruni atas upaya mereka menerapkan biogas sebagai pengganti bahan bakar elpiji. Ada sekitar 107 rumah tangga yang menggunakannya.

Karakteristik kedua adalah menjunjung tinggi tata karma dan tradisi. Mereka selalu menanamkan sikap menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, pejabat, atau seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi. Selain itu, sikap menjunjung tinggi tradisi menjadikan mereka melestarikan bakdan sapi dan adat lainnya di Boyolali.

Ciri-ciri yang paling tampak, yakni kekeluargaan. Saat perayaan bakdan sapi, sebagian besar masyarakat Desa Sruni ikut berpartisipasi. Tak tanggung, mereka membawa teman dan keluarganya untuk merayakan lebaran khusus ternak sapi ini. Bahkan, mereka saling membantu dalam mempersiapkan acara supaya berlangsung meriah.

 

 

d. Kearifan Lokal dan Peternak Sapi dari Desa Sruni, Boyolali, Jawa Tengah

Kearifan lokal merupakan sikap atau perilaku arif dari seseorang ketika berinteraksi di lingkungannya. Kearifan lokal kerap dihubungkan dengan potensi lokal di sekitar tempat tinggal.

Terkait potensi lokal, tiap daerah memiliki perbedaan—disesuaikan dengan kondisi wilayah. Misalnya, di Desa Sruni yang mayoritas memiliki peternakan, maka potensi lokal menjadi prioritas utama saat peninjauan kelayakan. Potensi lokal tersebut meliputi, potensi pakan, budaya, hingga tradisi.

Khususnya potensi tradisi, seorang peternak harus memperhatikan adat masyarakat sekitarnya. Minimal, ia bisa menghormati tradisi yang sudah lama berlangsung di wilayah tersebut. Kalau memungkinkan, peternak ikut serta dalam melestarikan tradisi tersebut. Misalnya, dengan cara menyumbangkan ternak sapi untuk acara bakdan sapi.

Partisipasi tersebut bertujuan untuk menjaga kelangsungan usaha yang dibangun oleh peternak lokal. Setidaknya, masyarakat sekitar memberikan dukungan moral pada peternak agar usahanya berkembang. Lebih bagus lagi, jika peternak mampu memberikan timbal balik untuk masyarakat. Dengan demikian, tercipta hubungan yang saling menguntungkan.

 

 

e. Selain Bakdan Sapi di Desa Sruni, Ini Tradisi Masyarakat Desa di Boyolali, Jawa Tengah

Bakdan sapi bukan satu-satunya tradisi warga Boyolali. Beberapa tradisi berikut ini juga masih dilestarikan sampai saat ini. Apa saja?

 

1. Mendhak Tirta

Upacara mendhak tirta diadakan oleh umat Hindu di kawasan Boyolali. Proses upacara dilakukan dengan mengambil air suci dari Umbul Siraman Dalem di Kompleks Umbul Pengging, Kecamatan Banyudono, Boyolali.

Nantinya, air suci yang diambil digunakan di pelataran Candi Prambanan ketika upacara tawur agung. Air suci lantas dibawa dalam kirab sejauh 1 km—yang diikuti oleh umat Hindu dari Boyolali sampai Sukoharjo.

Makna dari upacara mendhak tirta adalah pembersihan dan penyucian noda dosa dalam diri manusia. Proses penyucian menggunakan tirta sehingga bisa lepas dari karma.

 

2. Tungguk Tembakau

Panen tembakau di Desa Senden, Kecamatan Selo, Boyolali, dirayakan dengan cara yang unik melalui festival tungguk tembakau. Festival ini dimulai dari mengarak gunungan berupa tumpeng. Isi tumpeng meliputi nasi, gunungan daun tembakau, dan hasil bumi.

Festival diawali diiringi dengan ritual dan doa bersama. Kemudian, peserta festival menyantap tumpeng bersama-sama. Usai itu, mereka melakukan pemetikan daun tembakau yang pertama.

Filosofi festival tungguk tembakau adalah melestarikan tradisi secara turun-temurun. Selain itu, mereka bertujuan menyambut panen raya tembakau. Pun sebagai bentuk syukur atas anugerah Yang Mahakuasa karena diberi tanaman tembakau yang tumbuh subur.

 

3. Saparan

Tradisi saparan dimulai sejak masa pemerintahan Paku Buwono II di Keraton Surakarta. Konon, tradisi dilakukan saat hama keong emas menyerang tanaman warga. Lalu, sang raja memberi perintah untuk memasak keong emas. Proses memasaknya dengan cara dikukus dan dibungkus janur.

Setelah warga melaksanakan perintah itu, wabah pun hilang. Sebagai ungkapan syukur, warga membuat apem kukus keong emas. Apem ini dibagikan kepada masyarakat. Sampai sekarang, tradisi tersebut masih berlangsung.

Ada sekitar 30 ribu apem yang dibuat oleh warga. Namun, sebelumnya, apem dibentuk seperti gunungan setinggi 2,5 meter. Setelah ritual selesai, apem di gunungan dibagikan kepada peserta upacara.

 

4. Padusan

Tradisi padusan merupakan kegiatan yang diadakan masyarakat Boyolali menjelang Ramadan. Tujuan tradisi tersebut adalah menyucikan diri sebelum melaksanakan puasa selama 30 hari di bulan Ramadan.

Adapun lokasi pelaksanaan tradisi berada di Umbul Pengging. Kawasan ini merupakan kompleks wisata yang terdiri dari Umbul Tirtomarto dan Umbul Sungsang. Selain itu, upacara padusan juga dilaksanakan di Umbul Tlatar di Desa Kebonbimo dan Umbul Tirto Mulyo Kecamatan Sawit.

 

 

 

TATA CARA LEBARAN SAPI

Usai tradisi padusan, biasanya warga Boyolali mempersiapkan tradisi syawalan. Salah satunya adalah lebaran sapi. Ada dua tata cara yang dilakukan saat bakdan sapi. Berikut urutannya.

 

A. Kenduri

Kenduri sama artinya dengan perjamuan makan. Umumnya, dilakukan untuk memperingati suatu peristiwa atau meminta berkah dari Yang Mahakuasa. Di beberapa daerah, kenduri disebut juga selamatan atau kenduren. Acara ini merupakan perpaduan antara unsur religi dan budaya Jawa.

Pelaksanaan kenduri dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat, baik laki-laki, maupun perempuan. Biasanya, pihak laki-laki lah yang mengumpulkan warga. Mereka bertujuan untuk meminta doa agar hajat besarnya lancar. Dalam acara kenduri, mereka juga mengundang tokoh masyarakat atau yang dituakan.

Acara kenduri pada umumnya menghadirkan nasi tumpek dan besek. Tumpeng ini disajikan untuk tamu undangan. Persiapan tumpeng dilakukan oleh pihak perempuan yang berlangsung selama 4-7 hari.

Nah, ketika lebaran sapi, kenduri tidak menggunakan tumpeng, melainkan ketupat. Dalam tradisi ini, ketupat dihidangkan dengan sayur dan lauk-pauknya. Kemudian, peserta kenduri menyantapnya bersama-sama di sebuah tempat yang luas.

 

B. Mengarak Sapi

Anda pernah melihat kirab pusaka atau grebeg syawal? Mengarak sapi konsepnya hampir mirip dengan pelaksanaan kirab. Jadi, warga Desa Sruni membawa sapi-sapinya untuk keliling kampung. Umumnya, mereka membawa sapi perah yang dikalungi ketupat. Di samping itu, mereka kerap mengecat tubuh sapi dengan aneka warna.

Ketika mengarak sapi, mereka meyakini, Nabi Sulaiman sedang melihat dan memeriksa hewan tersebut. Mereka percaya, bahwa Nabi Sulaiman ikut mendoakan ternak yang mereka miliki. Karena itu, warga desa merayakan dengan penuh suka cita dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping membawa sapi perah dalam arakan, mereka juga menyertakan ternak kambing atau domba.

Hari itu, jalan Desa Sruni dipenuhi oleh hewan ternak ruminansia. Tidak ketinggalan, gunungan raksasa berupa ketupat dan hasil bumi turut serta diarak keliling desa. Bahkan, kegiatan itu dimeriahkan oleh kesenian tradisional Boyolali.

 

PERALATAN UNTUK LEBARAN SAPI

Demi kelancaran pelaksanaan bakdan sapi, warga Desa Sruni menyiapkan peralatannya sejak jauh hari. Apa saja peralatan yang harus ada?

 

1. Sapi

Sapi merupakan hewan ruminansia yang kerap dimanfaatkan daging dan susunya. Beberapa daerah, masih menggunakan sapi sebagai pembajak sawah. Ada juga yang mengambil kulit, tanduk, dan jeroan sapi sebagai hasil sampingan.

Di Boyolali, sapi lebih dari sekadar hewan peliharaan maupun penghasil daging dan susu. Bagi warga Boyolali, sapi merupakan lambang kemakmuran. Karena itu, keberadaan hewan sapi dalam acara lebaran sapi sangat penting. Bahkan, bisa dikatakan wajib ada.

 

2. Gunungan

Gunungan biasa digunakan dalam upacara atau ritual di tanah Jawa. Bentuk gunungan menyerupai kerucut. Umumnya, gunungan dikelilingi makanan, buah, sayur, dan lauk-pauk. Bahkan, ada daerah yang menyertakan hadiah di dalam sebuah gunungan sebagai door prize.

Tradisi menggunakan gunungan dalam upacara sudah ada sejak dulu. Keraton Yogyakarta dan beberapa keraton di Jawa kerap menyertakan gunungan ketika ritual apa pun. Ada enam jenis gunungan yang dipakai saat pelaksanaan tradisi, yakni gunungan lanang, wadon, gepak, pawuhan, bumi, dan kutug. Selain itu, terdapat gunungan dengan simbol khusus. Contoh, gunungan pada upacara bersih desa di kawasan Wonosari, Gunung Kidul.

Warga Wonosari mengarak tujuh gunungan sepanjang jalan desa. Biasanya, sebelum arakan, ada pertunjukan reog di tiap pedukuhan. Kemudian, tujuh gunungan diarak menuju balai desa untuk didoakan oleh para sesepuh.

Tradisi membawa gunungan sebagai peralatan upacara juga dilakukan saat perayaan syawalan di Kabupaten Klaten. Pelaksanaannya seminggu setelah Idulfitri. Tujuan tradisi syawalan warga Klaten untuk mengungkapkan rasa syukur pada Tuhan Yang Mahakuasa.

 

 

MAKNA GUNUNGAN KETUPAT

Seperti yang disebutkan sebelumnya, gunungan ketupat dihidangkan bersama hasil bumi. Ini menjadi lambang rasa syukur atas  hasil panen mereka. Sama seperti gunungan di daerah lain, usai didoakan, orang-orang boleh memperebutkan.

Makna ketupat, dalam gunungan yang dibungkus janur diambil dari bahasa Arab, yakni ja an nur. Artinya adalah datangnya cahaya. Jadi, ketupat merupakan lambang pengakuan kesalahan dari seseorang. Dalam bahasa Jawa disebut lepat. Ketika ketupat dibelah, isinya yang berwarna putih menyimbolkan hati bersih dan suci. Hati tersebut bebas dari iri hati, dengki, dan sifat sombong.

Ketupat juga bisa bermakna laku papat atau empat perilaku. Lebaran, luberan, leburan, dan laburan, itulah yang dimaksud dengan laku papat dalam filosofi ketupat. Oleh Sunan Kalijaga, ketupat juga dimaknai sebagai cerminan kesalahan manusia, cerminan kesempurnaan, dan permohonan maaf.

 

 

FILOSOFI LEBARAN SAPI

Filosofi merupakan pendekatan berpikir yang mengarah pada suatu objek. Tujuan filosofi adalah mengetahui hakikat pelaksanaan tradisi, adat, kegiatan, benda, dan ajaran tertentu. Dalam hal ini, lebaran khusus ternak sapi juga memiliki filosofi yang menarik untuk Anda pelajari.

Sebelum mempelajari filosofi lebaran sapi, Anda perlu tahu kaitannya perayaan ini dengan potensi daerah Boyolali. Kawasan Boyolali merupakan penghasil susu terbesar di Jawa Tengah. Produksi susu di Boyolali mencapai 80.000 liter per hari. Sementara populasi sapi perahnya tidak kurang dari 60.000 ekor.

Bisa dikatakan, Boyolali adalah daerah paling sukses dalam peternakan sapi. Sekitar 59.000 liter susu per hari diolah menjadi produk industri. Karena itu, Boyolali mendapatkan julukan New Zealand van Java.

Nah, berangkat dari latar belakang tersebut, warga Boyolali ingin mengungkapkan syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa lewat tradisi lebaran sapi. Mereka berharap, melalui pelestarian tradisi tersebut, ternak-ternaknya bisa dijauhkan dari penyakit dan beranak pinak.

Khusus peternak penghasil sapi perah, berharap ternaknya bisa menghasilkan susu dalam jumlah lebih banyak. Dengan demikian, mereka mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dari sisi ekonomi. 

 

Itulah tadi ulasan seputar tradisi lebaran khusus ternak sapi, tradisi di desa daerah Boyolali, serta tata upacara bakdan sapi. Meski mudik lebaran tidak menjadi kewajiban dalam tradisi ini, sebagian warga Boyolali yang tinggal di luar kota kerap pulang demi menghadiri acara tersebut. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menjalin silaturahmi, ikut mendoakan, dan memanjatkan rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Mahakuasa.